SPOTSATU.COM

Informasi Mencerahkan

Sidang atau Jebakan? Mengkritisi Budaya Gratifikasi dalam Ujian Munaqasyah

Oleh Arzad, S.Pd.
Alumni Program Studi PAI IAIN Palopo

OPINI – Gratifikasi dalam pendidikan, khususnya dalam budaya memberi makan dosen penguji saat ujian munaqasyah, sering kali menjadi perdebatan di kalangan masyarakat akademik. Di satu sisi, budaya ini mungkin dianggap sebagai bentuk penghormatan atau ungkapan terima kasih dari mahasiswa kepada dosen yang telah membimbing mereka.

Namun, di sisi lain, hal ini bisa menimbulkan potensi masalah serius terkait dengan integritas akademik, serta menimbulkan kesan adanya gratifikasi yang bisa memengaruhi objektivitas dosen dalam memberikan penilaian.

Salah satu alasan mengapa budaya ini tidak dianjurkan adalah adanya aturan yang melarang pemberian gratifikasi kepada dosen penguji. Di banyak institusi pendidikan, terdapat kebijakan yang dengan tegas melarang pemberian hadiah atau makanan kepada dosen selama ujian munaqasyah atau dalam konteks evaluasi akademik lainnya.

Hal ini bertujuan untuk menjaga agar penilaian tetap objektif, adil, dan bebas dari pengaruh luar yang bisa merusak kredibilitas serta kualitas penilaian. Misalnya, di Indonesia, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, terdapat aturan yang melarang pegawai negeri, termasuk dosen, untuk menerima gratifikasi yang berpotensi mengganggu integritas pekerjaan mereka.

Dalam perspektif agama, Al-Qur’an juga mengajarkan tentang larangan menerima pemberian yang dapat mempengaruhi integritas dan keadilan. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 188, Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawanya kepada hakim-hakim agar kamu dapat memakan harta orang lain itu dengan jalan berdosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)

Ayat ini mengingatkan kita untuk tidak menggunakan posisi atau wewenang untuk memperoleh keuntungan pribadi secara tidak sah, termasuk dalam hal ini, menerima gratifikasi yang bisa merusak keadilan dan objektivitas dalam penilaian akademik.

Dalam konteks undang-undang, gratifikasi yang diterima oleh pejabat atau pegawai negeri, termasuk dosen, bisa memiliki dampak hukum yang serius.

Di Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur bahwa gratifikasi yang diterima oleh pejabat negara atau pegawai negeri sipil harus dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Gratifikasi yang tidak dilaporkan dapat dianggap sebagai tindak pidana korupsi jika dianggap mempengaruhi objektivitas atau keputusan yang diambil oleh penerima gratifikasi.

Penerimaan gratifikasi dalam konteks pendidikan, seperti pemberian makanan atau hadiah kepada dosen penguji, berisiko mengarah pada perilaku tidak etis yang dapat merusak integritas proses akademik.

Ketika dosen menerima gratifikasi, meskipun dalam bentuk yang sepele seperti makanan, ada potensi untuk menciptakan rasa utang budi yang bisa mempengaruhi keputusan mereka, terutama dalam penilaian ujian atau sidang munaqasyah.

Hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan objektivitas yang seharusnya dijaga dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini, aturan dalam undang-undang juga memberi tekanan pada perlunya transparansi dan pelaporan, yang jika tidak dipatuhi, dapat menambah risiko hukum yang lebih besar.

Selain itu, bagi mahasiswa, memberikan gratifikasi juga bisa menimbulkan ketidakadilan. Praktik ini dapat menyebabkan mahasiswa merasa tertekan untuk memberikan hadiah atau makanan agar mendapat penilaian yang baik, yang pada gilirannya bisa menimbulkan ketidaksetaraan antara mahasiswa yang mampu memberikan gratifikasi dengan yang tidak mampu.

Undang-undang pun mengatur agar setiap tindakan yang berpotensi menciptakan ketidakadilan atau menurunkan integritas dalam proses pemerintahan atau pendidikan dapat dikenakan sanksi. Jika terbukti ada gratifikasi yang memengaruhi hasil ujian, baik dosen maupun mahasiswa bisa dikenakan tindakan hukum yang merugikan bagi kedua belah pihak.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi juga memberikan peran penting dalam pengawasan gratifikasi, termasuk dalam sektor pendidikan. Dalam hal gratifikasi diterima oleh dosen yang berhubungan langsung dengan keputusan akademik, maka tindakannya dapat diperiksa oleh KPK untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang.

Pemberian gratifikasi yang tidak sesuai dengan aturan dapat menurunkan kredibilitas dan transparansi dalam dunia pendidikan, yang pada akhirnya dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan dan proses akademik secara keseluruhan. Oleh karena itu, sangat penting bagi semua pihak untuk memahami dampak hukum yang ditimbulkan oleh praktik gratifikasi ini.

Dengan demikian, budaya memberi makanan atau hadiah kepada dosen penguji dalam konteks ujian munaqasyah tidak hanya bertentangan dengan aturan yang berlaku di institusi pendidikan, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan integritas yang diajarkan dalam agama.

Sebagai langkah preventif, institusi pendidikan perlu menegakkan aturan yang jelas mengenai etika pemberian hadiah atau gratifikasi, serta memberikan edukasi kepada mahasiswa dan dosen tentang pentingnya menjaga objektivitas dalam proses evaluasi akademik. Dengan demikian, kualitas pendidikan tetap terjaga dan tercipta lingkungan akademik yang bebas dari pengaruh luar yang dapat merusak integritasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini