SPOTSATU.COM

Informasi Mencerahkan

Integritas Profesi vs Ego Institusi, Catatan Seorang Alumni Berprofesi Jurnalis

OPINI, SPOTSATU.COM – Bagi seorang alumni yang berprofesi sebagai jurnalis, ada satu dilema yang tidak mudah dihindari. Bagaimana tetap menjunjung tinggi etika jurnalistik tanpa harus dianggap “menyerang” almamater sendiri. Ini adalah ujian integritas yang kerap dihadapi ketika berita yang harus dilaporkan menyangkut institusi pendidikan tempat kita dulu dibentuk.

Profesi jurnalis menuntut keberpihakan pada fakta dan kepentingan publik. Tugas utamanya adalah mengungkap kebenaran, sekalipun itu menyakitkan atau tidak populer. Di sisi lain, sebagai alumni, ada ikatan emosional yang kuat dengan almamater rasa hormat, nostalgia, bahkan rasa terima kasih. Maka, ketika almamater menjadi subjek kritik dalam suatu liputan, benturan batin tidak terhindarkan.

Namun perlu digarisbawahi, menjaga nama baik almamater bukan berarti menutupi kesalahan atau membungkam fakta. Justru, loyalitas yang sejati terhadap almamater adalah berani mengoreksi ketika ada yang keliru.

Kampus adalah ruang intelektual yang seharusnya terbuka terhadap kritik, termasuk dari alumninya sendiri. Jika seorang alumni diam atau memilih menyembunyikan kebenaran demi menjaga citra, maka ia telah mengkhianati dua hal sekaligus yaitu profesi jurnalistik dan nilai-nilai akademik yang dia pelajari di sana.

Kritik bukanlah bentuk kebencian. Ketika seorang jurnalis meskipun alumni mengangkat isu dugaan penyalahgunaan wewenang, konflik kepentingan, atau problem etika di kampus, itu bukan serangan pribadi, itu adalah panggilan profesional untuk menjaga transparansi, akuntabilitas, dan reformasi di lingkungan pendidikan.

Almamater tidak akan runtuh karena kritik; justru ia akan hancur karena pembiaran atas kesalahan yang terus-menerus ditutup-tutupi. Alumni yang bersuara kritis tidak sedang menjatuhkan institusi, tapi sedang menunjukkan bahwa ia peduli. Bahwa nama baik sejati bukan dibangun dari pencitraan, melainkan dari keberanian mengakui kesalahan dan memperbaikinya.

Jika kampus tidak bisa menerima kritik dari alumninya sendiri, maka itu menjadi cermin bagi lemahnya kultur akademik yang selama ini dibangun. Menjadi jurnalis sekaligus alumni memang tidak mudah.

Tapi pada akhirnya, integritas tidak bisa ditawar. Sebab jurnalisme tanpa keberanian adalah propaganda, dan cinta almamater tanpa kejujuran adalah bentuk pengkhianatan halus yang justru merugikan kampus dalam jangka panjang.

Sayangnya, di banyak kasus, rektor sebagai pemimpin tertinggi kampus justru menjadi sosok yang paling alergi terhadap kritik. Bukannya merespons dengan elegan dan membuka ruang dialog, sebagian rektor memilih pendekatan represif terhadap siapa pun termasuk alumni yang menyuarakan fakta tidak menyenangkan. Ketika seorang alumni jurnalis menulis laporan yang memuat dugaan pelanggaran di kampus, reaksi yang muncul sering kali bukan klarifikasi atau pembenahan, melainkan serangan balik, pelabelan, bahkan ancaman hukum.

Rektor yang mengklaim menjaga nama baik institusi, tetapi tidak transparan terhadap publik, sesungguhnya sedang merusak fondasi kepercayaan. Nama baik bukan dibangun dari diamnya para pengkritik, tetapi dari keberanian kampus menghadapi dan membenahi kesalahan secara terbuka. Ketika rektor lebih sibuk membungkam suara kritis dibanding memperbaiki sistem, maka yang ia jaga bukan kehormatan kampus, melainkan egonya sendiri.

Lebih parah lagi, beberapa rektor secara aktif menciptakan narasi bahwa kritik dari alumni terutama yang dilakukan secara terbuka melalui media adalah bentuk “pencemaran nama baik” atau “tidak tahu berterima kasih.”

Sikap seperti ini sangat merendahkan fungsi intelektualisme. Ia menutup kemungkinan adanya partisipasi kolektif dalam membangun institusi, dan malah menjadikan kampus sebagai menara gading yang antikritik.

Kepemimpinan akademik yang baik seharusnya mampu berdiri kokoh di tengah kritik. Ia tidak melihat perbedaan antara suara dari dalam dan luar kampus, antara mahasiswa dan alumni, antara teman dan lawan.

Semua kritik selama berbasis fakta dan niat membangun harus dilihat sebagai bagian dari dinamika sehat dalam tata kelola kampus. Seorang rektor yang tidak siap mendengar kritik dari alumninya sendiri, sebenarnya sedang menunjukkan bahwa ia tidak layak menduduki posisi itu.

Ironisnya, rektor yang demikian justru lupa satu hal penting, sebagian besar alumni yang bersuara kritis adalah mereka yang masih peduli. Mereka tidak tinggal diam menyaksikan kemunduran nilai di lembaga yang pernah mereka banggakan.

Mereka memilih jalan sulit mengorbankan kenyamanan demi menyampaikan kebenaran. Maka yang layak dipertanyakan bukan keberanian alumni yang bersuara, tetapi kepantasan rektor memimpin sebuah Institusi!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini