SPOTSATU.COM

Informasi Mencerahkan

PSU Palopo 24 Mei 2025, Ujian Integritas di Tengah Bayang-Bayang Politik Uang

OPINI – Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang dijadwalkan pada 24 Mei 2025 di Palopo bukan sekadar pengulangan teknis. Ia adalah alarm keras yang menandakan kegagalan kita menjaga integritas demokrasi. PSU seharusnya menjadi pengecualian dalam sistem pemiliha, namun faktanya, ia kini menjadi cermin rapuhnya komitmen terhadap demokrasi yang jujur dan adil.

Kita harus jujur mengakui bahwa PSU ini terjadi karena ada sesuatu yang salah. Politik uang, tekanan, manipulasi, dan pelanggaran prosedur bukan lagi desas-desus, melainkan realitas yang terungkap di hadapan publik. Bukankah ini tamparan keras bagi kita semua penyelenggara, peserta, dan bahkan pemilih?

Politik uang bukan hanya gejala dari penyakit demokrasi, tapi sudah menjadi racun yang perlahan membunuh kesadaran berdemokrasi. Di Palopo, isu ini bukan hal baru, bukan pula hal yang mengejutkan. Yang mengejutkan justru adalah bagaimana masyarakat mulai menganggapnya sebagai hal biasa. Inilah bahaya terbesar pembiaran.

Apakah suara rakyat masih murni, jika ia dibeli dengan sembako, uang tunai, atau janji jabatan? Ataukah kita sedang menciptakan sistem demokrasi berbasis lelang suara, di mana yang paling kaya otomatis jadi pemenang? Jika kita membiarkan ini terus berlangsung, maka PSU bukan yang terakhir dan demokrasi hanya akan jadi panggung kepalsuan.

Ironisnya, pelaku politik uang kerap datang dengan wajah ramah, membalut transaksi haram itu dengan kata “bantuan” atau “rezeki”. Padahal, itu investasi busuk yang akan ditagih setelah terpilih dalam bentuk korupsi anggaran, proyek fiktif, dan pelayanan publik yang buruk.

Lebih menyedihkan lagi, masyarakat yang menerima uang itu kerap menjadi korban berulang. Mereka memilih karena uang, bukan visi. Mereka kecewa setelah lima tahun, lalu mengulangi kesalahan yang sama. Siklus ini tak akan putus jika kesadaran kolektif tidak segera dibangun.

Penyelenggara pemilu dan aparat penegak hukum pun tak bisa lepas tangan. PSU seharusnya diiringi dengan sanksi tegas bagi pelanggar, bukan sekadar formalitas pengulangan pemungutan suara. Jika Bawaslu dan Gakkumdu hanya berani pada pelanggaran kecil, tapi membisu pada transaksi besar, maka kredibilitas mereka ikut runtuh.

Begitu pula dengan peserta pilkada, mereka yang ikut PSU harus membuktikan bahwa niat mereka bukan semata ambisi kekuasaan. Beranikah mereka berkampanye tanpa amplop? Mampukah mereka menolak cara-cara curang meski lawannya masih mempraktikkannya? Atau mereka hanya ikut karena melihat kesempatan kedua untuk “membeli kemenangan”?

Masyarakat Palopo harus mengambil sikap. Diam adalah bentuk pembiaran, dan pembiaran adalah bentuk dukungan terhadap praktik busuk. Jangan anggap politik uang sebagai hal yang tidak bisa dilawan. Suara rakyat adalah kekuatan besar, jika digunakan secara sadar dan terhormat.

PSU ini harus menjadi pertaruhan harga diri, bukan hanya pengulangan pemilihan. Jika masih ternoda oleh politik uang, maka demokrasi Palopo gagal dua kali. Dan kegagalan kedua, tak lagi bisa disalahkan pada siapa-siapa selain diri kita sendiri.

Mari bertanya dalam hati: apakah kita memilih karena harapan atau karena amplop? Palopo pantas mendapatkan pemimpin yang lahir dari suara yang jujur, bukan dari sistem yang busuk. Jika PSU ini tidak kita kawal dengan kesadaran kritis, maka demokrasi kita tak ubahnya teater penuh ilusi.

Tanggal 24 Mei adalah ujian. Bukan hanya untuk para calon, tapi untuk seluruh warga Palopo. Kita bisa memilih dengan integritas atau kembali menjual masa depan demi keuntungan sesaat. Pilihannya ada di tangan kita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini