Membedakan Fakta dan Hoaks: Literasi Informasi Digital sebagai Keterampilan Esensial Abad ke-21
Penulis: Masykur Zaini
OPINI, SPOTSATU.COM – Di era digital yang serba cepat dan terbuka ini, membedakan antara fakta dan hoaks telah menjadi tantangan besar yang dihadapi masyarakat. Arus informasi yang membanjiri platform digital, khususnya media sosial, menuntut setiap individu memiliki keterampilan literasi informasi digital yang mumpuni.
Literasi ini tidak lagi sekadar kemampuan teknis dalam mengoperasikan perangkat, tetapi mencakup kemampuan berpikir kritis untuk menyaring informasi, mengevaluasi sumbernya, serta menyebarkannya secara etis dan bertanggung jawab. Tanpa kemampuan ini, seseorang berisiko menjadi korban atau bahkan pelaku penyebaran informasi yang menyesatkan.
Literasi informasi digital merupakan bagian penting dari literasi digital secara keseluruhan. Ini mencakup keterampilan untuk mengakses, mengevaluasi, menggunakan, dan membagikan informasi secara efektif di lingkungan digital. Di tengah maraknya misinformasi dan disinformasi, kemampuan mengevaluasi kredibilitas sumber menjadi sangat krusial.
Masyarakat perlu memahami bahwa tidak semua konten yang beredar, terutama yang viral, merupakan kebenaran. Banyak dari informasi tersebut sarat akan bias, manipulasi, atau bahkan sengaja disebarkan untuk tujuan provokatif.
Berbagai kasus telah menunjukkan dampak nyata dari rendahnya literasi informasi digital. Misalnya, menjelang pemilu, hoaks politik kerap digunakan untuk menjatuhkan lawan melalui penyebaran narasi palsu yang menggiring opini publik. Dalam konteks kesehatan, selama masa pandemi, beredar hoaks bahwa vaksin COVID-19 mengandung chip pelacak atau menyebabkan kemandulan, padahal hal tersebut tidak memiliki dasar ilmiah.
Bahkan dalam dunia hiburan, kabar meninggalnya seorang artis sering kali tersebar tanpa verifikasi, memicu kepanikan dan simpati palsu. Di saat bencana alam seperti gempa atau banjir, informasi palsu tentang lokasi terdampak atau kondisi korban sering beredar sebelum dikonfirmasi oleh pihak berwenang. Semua ini membuktikan bahwa dampak hoaks tidak hanya sekadar salah paham, tetapi bisa mengarah pada kekacauan sosial dan kesalahan dalam pengambilan keputusan.
Media sosial sebagai ruang publik modern telah menjadi medan bebas bagi beragam narasi, mulai dari yang informatif hingga yang menyesatkan. Sayangnya, algoritma platform digital sering kali lebih mendorong popularitas daripada akurasi.
Dalam situasi ini, literasi digital menjadi bekal utama agar pengguna tidak mudah termakan oleh informasi yang belum terverifikasi. Mereka yang melek literasi informasi digital akan mampu mengidentifikasi motif tersembunyi di balik penyebaran suatu konten, membedakan antara fakta, opini, dan propaganda, serta menyadari konsekuensi sosial dan hukum dari perilaku digital yang sembrono.
Pendidikan memainkan peran strategis dalam membentuk generasi yang cakap secara digital. Literasi informasi digital harus ditanamkan sejak dini melalui pembelajaran yang mendorong siswa untuk berpikir kritis, menelusuri sumber informasi secara independen, serta bertindak bijak di dunia maya. Tidak hanya itu, keterlibatan orang tua, guru, dan pemerintah dalam menciptakan ekosistem digital yang sehat juga menjadi kunci keberhasilan.
Literasi digital bukan lagi keterampilan tambahan, melainkan kebutuhan dasar dalam menghadapi realitas abad ke-21. Maka dari itu, memperkuat literasi informasi digital bukan hanya soal adaptasi teknologi, tetapi juga tentang mempertahankan kualitas demokrasi, etika sosial, dan kebenaran di tengah banjir informasi. Jika tidak ingin menjadi korban dari era informasi palsu, kita semua harus menjadi pengguna digital yang cerdas, kritis, dan bertanggung jawab.
Tinggalkan Balasan